Risiko Kesehatan Penyakit Menular di Masyarakat
Nama : Giani Diva Ayu Prasetyo
NIM : 21413241031
Departemen : Pendidikan Sosiologi 2021
Mata Kuliah : Masyarakat Risiko
Risiko Kesehatan Penyakit Menular di Masyarakat
Risiko kesehatan merupakan salah satu risikp yang kerap terjadi di masyarakat, contohnya adalah penularan penyakit menular, seperti wabah flu, demam, atau bahkan penyakit yang lebih serius, seperti virus Corona. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, atau penyebaran penyakit melalui kontak dekat dengan orang yang terinfeksi. Menurut Data BPS, terdapat beberapa penyakit menular yang banyak terjadi di masyarakat tahun 2020-2022.
Tabel 1. Penyakit Menular 2020-2022
Penyakit Menular |
Tahun |
||
2020 |
2021 |
2022 |
|
Malaria |
4 |
8 |
17 |
Gastroenteritis |
4.056 |
3.148 |
40.418 |
Kolera |
89 |
- |
- |
Kusta |
43 |
71 |
59 |
TBC |
4.126 |
4.956 |
8.892 |
Demam Berdarah |
1.266 |
782 |
2.041 |
Sumber: BPS (2022)
Risiko kesehatan di masyarakat dapat
memiliki dampak yang luas dan kompleks. Misalnya, penularan penyakit menular,
seperti flu atau demam dapat mengakibatkan gangguan pada produktivitas individu
dan bahkan berdampak negatif pada ekonomi secara keseluruhan karena absensi
kerja dan biaya pengobatan yang meningkat. Selain itu, ketika masyarakat tidak
memiliki akses yang memadai terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, risiko
kesehatan dapat meningkat secara signifikan (Megasari et al., 2018). Hal ini
dapat menyebabkan kasus-kasus yang sebenarnya dapat dicegah menjadi lebih
serius karena terlambat mendapat perawatan medis yang diperlukan. Di sisi lain,
kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan dan menerapkan
praktik-praktik sanitasi yang baik juga dapat menjadi faktor risiko besar dalam
penyebaran penyakit. Misalnya, tidak mencuci tangan dengan benar atau tidak
menggunakan masker saat sakit dapat meningkatkan risiko penularan penyakit di
antara individu-individu dalam masyarakat.
Dengan adanya penyebaran penyakit
melalui kontak dekat dengan orang yang terinfeksi, risiko kesehatan masyarakat
juga dapat meningkat dengan cepat (Rambing et al., 2022). Terutama dengan
mobilitas yang tinggi dan pola interaksi sosial yang luas dalam masyarakat
modern, penyebaran penyakit dapat terjadi dengan sangat cepat dan sulit untuk
dikendalikan tanpa tindakan preventif yang tepat. Oleh karena itu, risiko
kesehatan di masyarakat memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak,
termasuk pemerintah, lembaga kesehatan, dan individu-individu dalam masyarakat
untuk bekerja sama dalam upaya pencegahan, deteksi, dan penanganan penyakit
yang tepat agar dapat menjaga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.
Dalam konteks tantangan kesehatan masyarakat, modal sosial budaya memiliki peran sentral dalam upaya pencegahan dan penanggulangan risiko (Fauziah, 2023). Modal sosial budaya merujuk pada jaringan relasi sosial, norma-norma, kepercayaan, serta praktik-praktik yang terdapat dalam suatu komunitas atau masyarakat. Dalam hal ini, modal sosial budaya bukan hanya menjadi cerminan nilai-nilai dan identitas suatu kelompok, tetapi juga menjadi fondasi bagi respons kolektif terhadap risiko kesehatan yang dihadapi. Dengan memiliki jaringan sosial yang kuat, masyarakat dapat saling berbagi informasi, pengalaman, dan dukungan dalam menghadapi risiko kesehatan. Norma-norma sosial yang mengedepankan kepedulian terhadap kesejahteraan bersama juga dapat mendorong adopsi perilaku kesehatan yang positif dalam masyarakat. Kepercayaan dan solidaritas antaranggota masyarakat memperkuat kolaborasi dalam mengatasi risiko kesehatan serta memobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk intervensi yang efektif. Dengan demikian, modal sosial budaya bukan hanya menjadi instrumen penting dalam mengidentifikasi risiko kesehatan, tetapi juga menjadi kekuatan yang mendorong upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan yang efektif dalam masyarakat.
Berikut adalah beberapa modal sosial budaya yang dapat diidentifikasi.
1. Jaringan Sosial
Jaringan sosial yang kuat dalam masyarakat memainkan peran kunci dalam mengatasi risiko kesehatan dan menjaga kesejahteraan bersama. Dengan adanya jaringan sosial yang luas dan terkoneksi, informasi tentang praktik kesehatan yang baik dapat dengan cepat disebarkan ke seluruh anggota masyarakat. Misalnya, dalam sebuah keluarga, orang tua bisa menjadi sumber informasi tentang pentingnya mencuci tangan secara teratur atau menjaga kebersihan diri untuk mencegah penularan penyakit. Begitu juga dalam komunitas lokal, seperti kelompok ibu-ibu atau kelompok remaja, pertukaran informasi seputar kesehatan bisa menjadi bagian dari kegiatan rutin mereka. Selain itu, jaringan sosial yang solid juga memungkinkan adanya saling dukung antaranggota masyarakat dalam menghadapi situasi kesehatan yang sulit. Ketika seseorang mengalami masalah kesehatan, baik itu fisik atau mental, dukungan dari keluarga atau teman-teman dalam komunitas dapat memberikan rasa nyaman dan membantu individu tersebut dalam pemulihan. Selain itu, dengan adanya jaringan sosial yang terorganisir, masyarakat juga dapat merespons secara cepat terhadap situasi kesehatan yang darurat atau wabah penyakit yang membutuhkan tindakan kolektif. Dengan demikian, jaringan sosial yang kuat bukan hanya menjadi sarana untuk penyebaran informasi kesehatan, tetapi juga menjadi fondasi yang kokoh bagi kolaborasi dan dukungan antaranggota masyarakat dalam menjaga kesehatan dan kesejahteraan bersama.
2. Norma-norma Sosial
Norma-norma sosial yang mendorong
kepedulian dan tanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat membentuk landasan
moral yang kuat dalam perilaku individu dan interaksi sosial. Dalam masyarakat
yang nilai-nilai kesehatannya dijunjung tinggi, praktik-praktik kesehatan,
seperti mencuci tangan secara teratur, menggunakan masker saat sakit, atau
menjaga jarak fisik saat ada wabah penyakit menjadi bagian dari norma-norma
yang dianut secara luas. Norma-norma ini tidak hanya memberikan pedoman bagi
individu dalam menjaga kesehatan pribadi mereka, tetapi juga mengarahkan
perilaku kolektif yang memperkuat perlindungan kesehatan masyarakat secara
keseluruhan. Contohnya, dalam budaya yang mementingkan kesehatan masyarakat,
menggunakan masker saat sakit bukan hanya tindakan untuk melindungi diri
sendiri, tetapi juga merupakan ekspresi dari rasa tanggung jawab terhadap
kesejahteraan orang lain di sekitar. Demikian pula, menjaga jarak fisik selama
wabah penyakit merupakan tindakan yang dianggap sebagai bentuk solidaritas
sosial dan individu itu sendiri mengakui bahwa tindakan tersebut dapat membantu
melindungi orang-orang yang lebih rentan dalam komunitas mereka.
Norma-norma sosial ini juga dapat memengaruhi respons masyarakat terhadap ancaman kesehatan yang baru atau wabah penyakit yang muncul. Ketika norma-norma tersebut telah menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat, respon terhadap situasi darurat kesehatan, seperti penyebaran virus baru dapat lebih cepat dan efektif. Masyarakat yang telah terbiasa dengan praktik-praktik kesehatan yang ditetapkan oleh norma sosial akan lebih cenderung untuk mengikuti pedoman kesehatan yang dikeluarkan oleh otoritas kesehatan, serta untuk mendukung kebijakan publik yang dirancang untuk melindungi kesehatan bersama. Dengan demikian, norma-norma sosial yang mengedepankan kesehatan masyarakat bukan hanya menjadi panduan perilaku individu, tetapi juga menjadi pilar yang memperkuat ketahanan dan responsibilitas kolektif dalam menjaga kesehatan dan kesejahteraan bersama.
3. Kepercayaan dan Solidaritas
Kepercayaan dan solidaritas merupakan dua pilar utama dalam membangun ketahanan masyarakat terhadap risiko kesehatan. Kepercayaan yang kuat antaranggota masyarakat menjadi landasan yang kokoh dalam mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit. Ketika masyarakat memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap otoritas kesehatan dan institusi yang terlibat dalam penanggulangan penyakit, informasi dan tindakan yang direkomendasikan oleh pihak yang berwenang akan lebih mudah diterima dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakat. Misalnya, ketika pemerintah atau lembaga kesehatan memberikan instruksi tentang pentingnya vaksinasi untuk mencegah penyebaran penyakit tertentu, masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi akan lebih cenderung untuk mengikuti pedoman tersebut tanpa ragu.
Selain itu, kepercayaan yang kuat juga memperkuat kerja sama dan kolaborasi antarindividu dalam menghadapi risiko kesehatan bersama-sama. Ketika masyarakat merasa saling percaya dan bersatu dalam mengatasi ancaman kesehatan, mereka akan lebih cenderung untuk saling mendukung dan membantu satu sama lain. Solidaritas yang terjalin di antaraanggota masyarakat memungkinkan adanya pertukaran sumber daya, informasi, dan dukungan emosional dalam situasi darurat kesehatan. Misalnya, dalam konteks wabah penyakit, solidaritas masyarakat dapat terlihat dalam upaya bersama untuk menyediakan bantuan kepada keluarga yang terkena dampak atau untuk mendukung petugas kesehatan yang bekerja keras dalam menangani kasus-kasus penyakit. Selanjutnya, kepercayaan dan solidaritas tidak hanya memengaruhi respons individu terhadap risiko kesehatan, tetapi juga membentuk kekuatan kolektif dalam menghadapi tantangan yang lebih besar. Dalam masyarakat yang didasarkan pada kepercayaan dan solidaritas, kolaborasi antarindividu, kelompok, dan lembaga menjadi lebih efektif dalam merancang dan melaksanakan program-program kesehatan yang bertujuan untuk melindungi kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, membangun kepercayaan dan solidaritas antaranggota masyarakat menjadi langkah penting dalam memperkuat ketahanan masyarakat terhadap risiko kesehatan dan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung upaya-upaya kesehatan yang berkelanjutan.
4. Tradisi dan Ritual
Tradisi dan ritual memiliki dampak
yang signifikan dalam membentuk perilaku kesehatan di berbagai masyarakat.
Dalam banyak budaya, tradisi-tradisi kuno dan ritual-ritual turun temurun
seringkali mencerminkan kebijaksanaan lokal dalam menjaga kesehatan dan
kesejahteraan. Praktik-praktik tradisional ini dapat berupa upacara kebersihan,
ramuan obat tradisional, atau praktik spiritual yang diyakini memiliki manfaat
bagi kesehatan fisik dan mental. Sebagai contoh, dalam beberapa budaya Asia,
seperti di India atau Tiongkok, penggunaan rempah-rempah tertentu atau ramuan
herbal telah menjadi bagian integral dari sistem pengobatan tradisional yang
dikenal sebagai Ayurveda atau pengobatan Tionghoa tradisional. Pengobatan
tradisional ini sering dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai cara alami
dan holistik untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan menjaga kesehatan. Namun,
penting untuk diingat bahwa tidak semua praktik tradisional memiliki dasar
ilmiah yang kuat atau dapat diterapkan secara universal.
Beberapa praktik tradisional bahkan dapat bertentangan dengan praktik medis modern atau tidak efektif dalam mengatasi penyakit. Oleh karena itu, sementara tradisi dan ritual dapat menjadi sumber pengetahuan yang berharga dalam bidang kesehatan, penting untuk melakukan penelitian dan kajian ilmiah yang mendalam untuk mengevaluasi keefektifan dan keamanan dari setiap praktik kesehatan tradisional sebelum mengadopsinya. Selain itu, upaya untuk memadukan pengetahuan tradisional dengan ilmu pengetahuan medis modern telah menjadi fokus penelitian dan pengembangan di banyak negara. Pendekatan ini dikenal sebagai "integrasi kedua sistem" atau "pengobatan komplementer dan alternatif" (CAM), yaitu praktik-praktik tradisional yang digabungkan dengan praktik medis konvensional untuk menciptakan pendekatan yang holistik dan terintegrasi terhadap perawatan kesehatan. Dengan demikian, tradisi dan ritual tidak hanya menjadi bagian dari warisan budaya suatu masyarakat, tetapi juga dapat menjadi sumber inspirasi untuk inovasi dalam bidang kesehatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Analisis risiko kesehatan di masyarakat perlu mempertimbangkan bagaimana modal sosial budaya ini dapat dimanfaatkan untuk mengurangi risiko dan meningkatkan respons terhadap ancaman kesehatan. Namun, juga penting untuk menyadari bahwa dalam beberapa kasus, faktor-faktor budaya tertentu juga dapat menjadi hambatan dalam mengatasi risiko kesehatan, misalnya jika norma-norma sosial yang ada tidak mendukung perilaku kesehatan yang diinginkan. Oleh karena itu, strategi mitigasi risiko harus mempertimbangkan secara holistik dinamika sosial budaya dalam masyarakat yang terkena dampak.
Referensi:
BPS. (2022). Penyakit Menular 2020-2022.
Retrieved from https://jakbarkota.bps.go.id/indicator/30/130/1/penyakit-menular.html.
Fauziah, S. (2023). Analisis Faktor Sosial
Budaya Terhadap Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Di Indonesia. Analysis of
Socio-Cultural Factors in Non-Communicable Disease Prevention in Indonesia,
Researchgate. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/376520993_ANALISIS_FAKTOR_SOSIAL_BUDAYA_TERHADAP_PENANGGULANGAN_PENYAKIT_TIDAK_MENULAR_DI_INDONESIA_Analysis_of_Socio-Cultural_Factors_in_Non-Communicable_Disease_Prevention_in_Indonesia.
Megatsari, H., et al. (2018). Perspektif
Masyarakat Tentang Akses Pelayanan Kesehatan. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 21(4). 247-253.
Rambing, V. V., Umboh, J. M. L., &
Warouw, F. (2023). Literature Review: Gambaran Risiko Kesehatan pada Masyarakat
akibat Paparan Gas Karbon Monoksida (CO). KESMAS: Jurnal Kesehatan
Masyarakat Universitas Sam Ratulangi, 11(4).
Comments
Post a Comment