Analisis Risiko Erupsi Gunung Merapi dengan Pendekatan Kajian Masyarakat Risiko
Nama : Giani Diva Ayu Prasetyo
NIM : 21413241031
Departemen : Pendidikan Sosiologi 2021
Mata Kuliah : Masyarakat Risiko
Analisis Risiko Erupsi Gunung Merapi dengan Pendekatan Kajian Masyarakat Risiko
A. Identifikasi Risiko
Gunung Merapi, yang terletak di perbatasan DIY dan
Jawa Tengah, merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia dengan
berbagai risiko vulkanik yang mengancam kehidupan dan infrastruktur di
sekitarnya. Letusan eksplosif adalah salah satu bentuk aktivitas vulkanik
paling merusak dari Gunung Merapi. Letusan ini dapat menghasilkan aliran
piroklastik yang sangat berbahaya, terdiri dari campuran gas panas, abu, dan
batuan yang bergerak cepat ke lereng gunung. Aliran piroklastik dapat mencapai
kecepatan hingga 700 km/jam dan suhu lebih dari 800 derajat Celsius, mampu
menghancurkan segala sesuatu yang ada di jalurnya. Ancaman ini memengaruhi
area dalam radius 5-10 km dari puncak, yang dikenal sebagai zona bahaya utama
(Wardhana, 2020).
Aliran lava terjadi ketika magma mencapai
permukaan dan mengalir menuruni lereng gunung. Meskipun gerakannya relatif
lambat dibandingkan dengan aliran piroklastik, aliran lava dapat menyebabkan
kerusakan parah pada infrastruktur, hutan, dan lahan pertanian di sepanjang
jalurnya. Selain itu, kombinasi antara abu vulkanik dan hujan dapat menciptakan
lahar atau aliran lumpur vulkanik. Lahar dapat mengalir lebih jauh dari aliran
lava, mencapai daerah pemukiman dan infrastruktur vital yang lebih rendah. Bahaya
lahar ini diperparah oleh curah hujan tinggi yang umum terjadi di sekitar
Gunung Merapi. (Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], 2011).
Risiko awan
panas, atau "wedhus gembel", yang membawa abu vulkanik dan gas
beracun dengan kecepatan tinggi, menjadi ancaman utama bagi kehidupan penduduk
setempat dan mengharuskan evakuasi cepat untuk menghindari kematian (Pribadi,
Kuncoro, & Puspitaningrum, 2016). Penyebaran abu vulkanik dapat meluas
hingga ratusan kilometer, menyebabkan gangguan pada kesehatan masyarakat, seperti masalah pernapasan, merusak pertanian, dan mengganggu aktivitas ekonomi
serta transportasi (Kusumasari & Alam, 2012).
Lebih jauh lagi, gas beracun seperti karbon
dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), dan hidrogen sulfida (H2S) yang
dikeluarkan selama erupsi dapat menimbulkan masalah kesehatan serius, termasuk
iritasi pernapasan dan risiko kematian dalam konsentrasi tinggi (Taylor &
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2020). Gempa vulkanik yang
menyertai aktivitas vulkanik juga berpotensi merusak infrastruktur dan
meningkatkan kecemasan di kalangan penduduk (Lavigne et al., 2008).
Secara ekonomi, dampak erupsi sangat merusak
sektor pertanian dan pariwisata, dengan kerusakan pada tanaman, infrastruktur,
serta penurunan jumlah wisatawan. Sementara itu, evakuasi massal akibat erupsi
menciptakan masalah sosial, seperti trauma psikologis dan ketidakpastian tempat
tinggal (Purnomo et al., 2013). Dampak lingkungan juga parah, dengan kerusakan
pada vegetasi, gangguan pada ekosistem perairan, dan perubahan struktur tanah
yang memengaruhi keanekaragaman hayati serta produktivitas pertanian di wilayah
tersebut (Wisner et al., 2004).
B. Penilaian Dampak Risiko Erupsi Gunung Merapi
Erupsi Gunung Merapi memiliki dampak signifikan
terhadap lingkungan. Vegetasi di sekitar lereng gunung mengalami kerusakan
parah akibat aliran lava dan awan panas. Vegetasi yang terbakar atau tertutup
oleh abu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih sehingga memengaruhi ekosistem
lokal dan keanekaragaman hayati (Wisner et al., 2004). Ekosistem perairan juga
terganggu oleh material vulkanik yang jatuh ke sungai, menyebabkan kerusakan
habitat ikan dan spesies lainnya serta mengubah aliran sungai yang bisa memengaruhi
daerah hilir (Pribadi, Kuncoro, & Puspitaningrum, 2016). Tanah di daerah
terdampak sering kali kehilangan kesuburannya karena endapan abu yang mengubah
struktur tanah, serta memengaruhi produktivitas pertanian dan vegetasi alami.
Dampak sosial dari erupsi Merapi sangat luas.
Evakuasi massal yang diperlukan untuk menyelamatkan penduduk dari zona bahaya
sering kali menyebabkan trauma psikologis, ketidakpastian tempat tinggal, dan
ketegangan sosial. Penduduk yang dievakuasi harus meninggalkan rumah mereka,
sering kali kehilangan harta benda dan sumber mata pencaharian (Purnomo et al.,
2013). Kehidupan komunitas juga terganggu karena erupsi memaksa perubahan dalam
struktur sosial dan cara hidup sehari-hari dengan dampak jangka panjang yang
dapat menyebabkan perubahan permanen pada pola pemukiman dan hubungan sosial
(Lavigne et al., 2008).
Secara ekonomi, erupsi Gunung Merapi menyebabkan
kerugian besar. Pertanian, sebagai sektor ekonomi utama di daerah tersebut,
terkena dampak langsung oleh aliran lava, lahar, dan abu vulkanik. Tanaman
rusak, lahan pertanian tertutup abu, dan infrastruktur pertanian hancur, yang
semuanya mengurangi produktivitas dan pendapatan petani (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana [BNPB], 2011). Sektor pariwisata juga mengalami
penurunan signifikan, dengan berkurangnya jumlah wisatawan dan penutupan objek
wisata, yang berdampak pada pendapatan lokal (Kusumasari & Alam, 2012).
Biaya rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur yang rusak, termasuk jalan,
jembatan, dan fasilitas publik, menambah beban ekonomi yang harus ditanggung
oleh pemerintah dan masyarakat (Wardhana, 2020).
Dampak kesehatan dari erupsi Merapi terutama
disebabkan oleh paparan abu vulkanik dan gas beracun. Abu vulkanik dapat
menyebabkan masalah pernapasan, iritasi mata, dan penyakit kulit, terutama pada
kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis
(Taylor & Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2020). Gas
beracun, seperti CO2 dan SO2 dapat memperburuk kondisi kesehatan dengan
menyebabkan iritasi saluran pernapasan dan bahkan keracunan pada konsentrasi
tinggi.
C. Strategi Manajemen Risiko
1. Mitigasi Struktural
Mitigasi struktural berfokus pada pembangunan dan penguatan infrastruktur untuk mengurangi kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi. Ini termasuk pembangunan barrier lahar dan pengendali yang dirancang untuk mengarahkan aliran lahar dan mengurangi kerusakan di daerah hilir. Pembangunan struktur penahan di sekitar aliran sungai yang mengalir dari Gunung Merapi juga membantu mengendalikan aliran material vulkanik selama dan setelah erupsi (Purnomo et al., 2013). Penguatan bangunan di zona rawan bencana juga menjadi prioritas, dengan menggunakan bahan bangunan yang tahan terhadap abu vulkanik dan getaran gempa (Lavigne et al., 2008).
2. Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural mencakup perencanaan penggunaan lahan, peningkatan kapasitas masyarakat, dan sistem peringatan dini. Perencanaan penggunaan lahan mengatur zona pemukiman, pertanian, dan industri berdasarkan tingkat risiko erupsi. Daerah yang sangat dekat dengan puncak gunung dijadikan kawasan konservasi atau area yang minim aktivitas manusia. Sementara pemukiman dan fasilitas penting ditempatkan di zona yang lebih aman (Wardhana, 2020). Peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan mitigasi bencana, simulasi evakuasi, dan pendidikan tentang risiko vulkanik juga penting. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana (Pribadi, Kuncoro, & Puspitaningrum, 2016).
3. Kesiapsiagaan Darurat
Kesiapsiagaan darurat melibatkan pengembangan sistem peringatan dini yang canggih dan rencana evakuasi yang jelas. Sistem peringatan dini menggunakan teknologi pemantauan modern, seperti seismograf dan sensor gas, untuk mendeteksi tanda-tanda awal aktivitas vulkanik. Informasi dari sistem ini disebarluaskan kepada masyarakat melalui sirene, radio, dan aplikasi seluler, memungkinkan evakuasi yang cepat dan tepat waktu (Taylor & Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2020). Rencana evakuasi yang disusun dengan baik termasuk jalur evakuasi, titik kumpul, dan tempat penampungan yang aman. Latihan evakuasi rutin membantu memastikan bahwa penduduk tahu apa yang harus dilakukan saat erupsi terjadi (Kusumasari & Alam, 2012).
4. Pemulihan Pasca-Bencana
Pemulihan pasca-bencana mencakup rekonstruksi
infrastruktur, rehabilitasi lahan, dan pemulihan sosial-ekonomi. Rekonstruksi
infrastruktur dilakukan untuk memperbaiki atau membangun kembali jalan,
jembatan, dan fasilitas publik yang rusak akibat erupsi. Pendekatan ini sering
kali mencakup desain yang lebih baik untuk meningkatkan ketahanan terhadap
bencana di masa depan (BNPB, 2011). Rehabilitasi lahan melibatkan penghapusan
abu vulkanik dari lahan pertanian dan pemulihan kesuburan tanah melalui
penggunaan pupuk dan metode pertanian yang sesuai. Pemulihan sosial-ekonomi
berfokus pada bantuan kepada penduduk yang kehilangan mata pencaharian,
termasuk program dukungan finansial, pelatihan keterampilan baru, dan
revitalisasi usaha lokal (Wisner et al., 2004).
D. Kajian Masyarakat Resiko
Kajian masyarakat risiko (risk society) menekankan
pada bagaimana masyarakat merespon dan beradaptasi terhadap risiko-risiko yang
dihasilkan oleh proses alam maupun teknologi modern. Konsep ini, yang pertama
kali diperkenalkan oleh Ulrich Beck, menekankan pentingnya pemahaman tentang
bagaimana risiko-risiko modern diproduksi dan didistribusikan dalam masyarakat,
serta dampaknya pada struktur sosial dan hubungan antar individu (Beck, 1992).
Dalam konteks erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta, kajian masyarakat risiko
mengungkap bagaimana risiko vulkanik dikelola oleh berbagai aktor, mulai dari
pemerintah hingga komunitas lokal, dan bagaimana respons terhadap risiko ini
membentuk kehidupan masyarakat sehari-hari.
Persepsi risiko di kalangan masyarakat sekitar
Gunung Merapi dipengaruhi oleh sejarah panjang erupsi gunung ini dan pengalaman
mereka dalam menghadapi bencana sebelumnya. Masyarakat di sekitar Merapi sering
memiliki persepsi “tanggap bencana” yang tinggi karena kebiasaan mereka hidup
berdampingan dengan risiko vulkanik yang berulang (Lavigne et al., 2008).
Namun, persepsi ini tidak selalu didasarkan pada pengetahuan ilmiah; sering
kali dipengaruhi oleh kearifan lokal dan kepercayaan budaya, seperti keyakinan
akan tanda-tanda alam yang dapat memprediksi erupsi (Kusumasari & Alam,
2012). Misalnya, banyak penduduk yang masih memanfaatkan pengetahuan
turun-temurun tentang perubahan perilaku binatang dan kondisi alam sekitar
sebagai indikator awal dari aktivitas vulkanik (Taylor & Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2020).
Respons sosial terhadap risiko erupsi mencakup
bagaimana komunitas lokal mengorganisir diri dalam menghadapi bencana. Penduduk
di daerah rawan sering kali mengembangkan strategi adaptasi kolektif, seperti
sistem peringatan berbasis komunitas dan pemanfaatan jejaring sosial untuk
evakuasi dan penyelamatan (Pribadi, Kuncoro, & Puspitaningrum, 2016).
Sebagai contoh, beberapa desa di lereng Merapi memiliki sistem alarm lokal yang
dioperasikan secara manual oleh warga untuk memberi tahu penduduk tentang aktivitas
gunung.
Di sisi lain, pemerintah memainkan peran penting
dalam penyediaan sistem peringatan dini yang lebih canggih dan penyusunan
kebijakan mitigasi bencana. Namun, ada tantangan dalam memastikan bahwa
informasi peringatan yang diberikan oleh pemerintah dapat diterima dan direspon
dengan tepat oleh masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa sering kali terdapat
diskoneksi antara informasi ilmiah yang disampaikan dan cara masyarakat
menafsirkannya, yang bisa menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian saat
terjadi krisis (Lavigne et al., 2008).
Dalam kajian masyarakat risiko, adaptasi terhadap
risiko vulkanik sering kali terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari
penduduk. Kehidupan di sekitar Merapi tidak hanya ditandai oleh kesadaran
risiko, tetapi juga oleh strategi bertahan yang mencakup praktik pertanian yang
disesuaikan dengan kondisi vulkanik dan pemanfaatan lahan dengan risiko yang
diperhitungkan. Misalnya, penduduk sering memilih jenis tanaman yang lebih
tahan terhadap abu vulkanik atau menanam di lokasi yang kurang terpengaruh oleh
aliran lahar (Purnomo et al., 2013). Selain itu, hubungan sosial dalam
komunitas berperan penting dalam memberikan dukungan saat terjadi bencana,
seperti menyediakan tempat tinggal sementara dan bantuan material dari keluarga
atau tetangga.
Referensi:
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana. (2011). Laporan akhir penanganan bencana erupsi Gunung Merapi 2010.
Jakarta: BNPB.
Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new modernity. SAGE
Publications.
Daryono, M. R., & Jousset, P. (2016). Monitoring seismic activity and
deformation of Gunung Merapi volcano. Journal of Volcanology and Geothermal
Research, 320, 23-33.
Kusumasari, B., & Alam, Q. (2012). Local wisdom-based disaster
recovery model in Indonesia. Disaster Prevention and Management, 21(3),
351-369.
Lavigne, F., De Coster, B., Juvin, N., Flohic, F., Gaillard, J. C.,
Texier, P., ... & Sartohadi, J. (2008). People's behaviour in the face of
volcanic hazards: Perspectives from Javanese communities, Indonesia. Journal
of Volcanology and Geothermal Research, 172(3-4), 273-287.
Pribadi, K. S., Kuncoro, M.
W., & Puspitaningrum, R. (2016). Disaster risk management in the
urban area of Yogyakarta, Indonesia: The city resilience strategy. Procedia
Engineering, 169, 333-340.
Purnomo, S., Handayani, E. R., & Wahyuningtyas, D. M. (2013). Studi kerentanan sosial masyarakat lereng
Gunung Merapi terhadap ancaman bencana. Jurnal Manusia dan Lingkungan,
20(3), 350-360.
Taylor, M., & Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2020). Risk perception and
disaster preparedness in rural Central Java, Indonesia. International
Journal of Disaster Risk Reduction, 43, 101385.
Wardhana, W. (2020). Evaluasi mitigasi bencana Gunung Merapi di Sleman. Jurnal
Ilmu Kebencanaan, 5(1), 15-28.
Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., & Davis, I. (2004). At risk:
Natural hazards, people's vulnerability and disasters (2nd ed.). Routledge.
Comments
Post a Comment